Sabtu, 19 Desember 2009
Kabupaten Cianjur
Cianjur salah satu kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Barat yang berpenduduk 1.931.480 jiwa. Terdiri dari laki-laki sebanyak 982.164 jiwa dan perempuan 949.676 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,48 %. Letak yang strategis dilintasi jalur jalan negara antara Jakarta Bandung. Luas wilayah 350.148 Ha dan secara administratif Pemerintahan terdiri dari 30 Kecamatan, 342 Desa dan 6 Kelurahan. Kabupaten yang sekarang dipimpin oleh Bupati Drs.H. TjeTjep Muchtar Soleh, MM ini dikelilingi oleh 5 Kabupaten yang memiliki pantai sepanjang 75 Km. Sebelah utara berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Bogor dan Purwakarta, sebelah barat berbatasan dengan wilayah kabupaten Bandung dan Garut sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Kabupaten Cianjur beriklim propis dengan curah hujan per tahun rata-rata 1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per-tahun. Dengan iklim tropis tersebut menjadikan kondisi alam Kabupaten Cianjur subur dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi yang menjanjikan. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan banyaknya sungai besar dan kecil yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian. Dari luas wilayah Kabupaten Cianjur 350.148 hektar, pemanfaatannya meliputi 83.034 Ha (23,71 %) berupa hutan produktif dan konservasi, 58,101 Ha (16,59 %) berupa tanah pertanian lahan basah, 97.227 Ha (27,76 %) berupa lahan pertanian kering dan tegalan, 57.735 Ha (16,49 %) berupa tanah perkebunan, 3.500 Ha (0,10 %) berupa tanah dan penggembalaan/pekarangan, 1.239 Ha (0,035 %) berupa tambak/kolam, 25.261 Ha (7,20 %) berupa pemukiman/pekarangan dan 22.483 Ha (6.42 %) berupa penggunaan lain-lain.
Lapangan atau pekerjaan penduduk Kab. Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 62.99 %. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu sekitar 42,80 %. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa yaitu sekitar 14,60% Beras Pandan Wangi yaitu beras asli Cianjur merupakan satu-satunya beras.
Wangi yaitu beras asli Cianjur merupakan satu-satunya beras terbaik yang tidak ditemukan di daerah lain dan menjadi trade mark Cianjur dari masa ke masa. Rasanya enak dan harganya pun relatif lebih tinggi dari beras biasa. Di Cianjur sendiri, pesawahan yang menghasilkan beras asli Cianjur ini hanya di sekitar Kecamatan Warungkondang, Cugenang dan sebagian Kecamatan Cianjur. Luasnya sekitar 10,392 Ha atau 10,30% dari luas lahan persawahan di Kabupaten Cianjur. Produksi rata-rata per-hektar 6,3 ton dan produksi per-tahun 65,089 ton.
Di daerah Cipanas Kecamatan Pacet sekitar 80 km dari Jakarta atau 20 km dari kota Cianjur, selain dikenal sebagai kawasan wisata pegunungan, juga merupakan daerah penghasil sayuran. Kawasan sayuran ini kini dikembangkan menjadi kawasan agropolitan hortikultura. Hasil produksi Kabupaten Cianjur, khususnya di sektor pertanian mudah dipasarkan. Hal ini slain karena produksi pertanian merupakan kebutuhan rutin sehari-hari, juga didukung oleh kemudahan-kemudahan pemasaran mengingat lokasi Cianjur berada di lintasan jalur ekonomi regional Jawa Barat. Daerah Pacet sebagai primadona Pariwisata Cianjur memiliki obyek-obyek wisata yang menarik antara lain obyek wisata Pendakian Gunung Gede, Kebun Raya Cibodas, Taman Mandala Kitri untuk kegiatan Pramuka dan Remaja, Kota Bunga serta Taman Bunga Nusantara. Di kecamatan Cikalongkulon terdapat obyek wisata Ziarah Makam Dalem Cikundul yakni Makam Bupati pertama sekitar abad 17 di kecamatan Mande terdapat obyek Wisata Danau Cirata.
Di Kecamatan Mande terdapat obyek wisata Danau Cirata yang juga merupakan kawasan Perikanan Sistem Jaring Terapung. Cianjur juga memiliki kawasan pantai di Cianjur selatan yang jaraknya sekitar 120 km dari Ibu Kota Cianjur. Pemerintah Kabupaten Cianjur berkeinginan untuk menjadikan kawasan pantai ini selain sebagai obyek wisata pantai, juga ingin mengembangkan ekspolitasi sumber daya kelautan antara lain dengan membangun Tempat Pendaratan ikan yang lebih representatif. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Cianjur sangat mengharapkan adanya investor yang berminat menanamkan modalnya dalam pembangunan sumber daya kelautan ini.
Cianjur juga memiliki jenis khas fauna yaitu Ayam Pelung. Kekhasan ayam pelung adalah suara kokoknya yang mengalun panjang dan merdu. Secara genetika, kelebihan Ayam Pelung ini selain tubuhnya yang relatif besar dan bulunya gemerlap, juga kokok suaranya yang mengalun panjang. Di Cianjur terdapat dua peternakan dan pembibitan Ayam Pelung yang cukup besar yakni Kecamatan Warungkondang dan di Bojongherang Kota Cianjur. Secara berkala, di Cianjur diselenggarakan Kontes Ayam Pelung, khususnya dalam rangka memperingati Hari Jadi Cianjur yang jatuh pada tanggal 12 Juli. Kontes ini memilih ayam pelung terbaik dilihat dari postur tubuh dan alunan suaranya. Ayam Pelung yang berhasil menjadi juara harga jualnya bisa mencapai jutaan rupiah. Salah satu cinderamata di Cianjur adalah Lenter Gentur. Lentera Gentur ini dibuat dari bahan kuningan dengan kaca warna warni dalam berbagai desain/bentuk yang unik dan menarik.
Makanan khas Cianjur yang termashur selain tauco, yang dibuat dari bahan kacang kedele, diolah sedemikian rupa sehingga setelah dimasak dan dicampur dengan cabe rawit menjadi teman makan yang enak dilengkapi dengan lalab-lalaban. Di Cianjur juga tersedia aneka ragam manisan yakni jenis makanan olahan dari berbagai buah-buahan dengan bermacam-macam rasa (asin, manis, pedas).
Dalam pengembangan daya tarik kepariwisataan, Kabupaten Cianjur ingin mengintegrasikan tiga aspek penting sebagai totalitas pelayanan wisata yakni, what to see : apa yang bisa dilihat misalnya keindahan alam pegunungan dengan berbagai flora dan seni budaya yang khas, what to taste : apa yang bisa diambil, seperti cinderamata khas Cianjur. (
Sumber:
http://www.cianjurkab.go.id/ dalam:
http://www.puncakview.com/Profile_Kab.Cianjur.htm
Sumber Gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijyG2ZAa7-ESSfk9aFTbvhO5rnFnIlAnEeFfE3WCz7mAzdwD_2VO9vjR7dahh1-QGh8hZeu2uOiV5Q_gV-QmGBIPjsXP5YQfcW4CdsX1IhyPiXW8FWHm9xlivR969kUFxWCqGVf7R5urJ2/s320/IMG_1077.jpg
Tauco Cianjur - Bertahan dengan Resep Leluhur
Belum lengkap rasanya jika berkunjung ke Cianjur tak membawa pulang oleh-oleh tauco. Memang sudah sejak lama tauco yang konon berasal dari negeri Cina itu identik dengan Cianjur. Tak jarang, apabila menyebut nama Cianjur, orang akan mengingat kota ini dengan kekhasan rasa tauconya.
Sebenarnya tauco tidak hanya dihasilkan Cianjur. Riau, Medan, dan Pekalongan juga merupakan daerah penghasil tauco lainnya di Indonesia. Uniknya, setiap daerah bahkan setiap produsen tauco memiliki resep khusus sehingga menghasilkan rasa tauco yang khas. Begitu pula dengan tauco cianjur, memiliki kualitas dan kekhasan tersendiri.
Tauco, umumnya digunakan sebagai bumbu atau penyedap masakan lauk-pauk. Bahan baku utama tauco adalah kedelai yang kemudian diproses melalui beberapa tahapan dan difermentasi.
Pembuatan tauco masih menggunakan peralatan sederhana. Proses dan tahapannya juga masih mempertahankan cara tradisional. Bahan bakarnya pun menggunakan kayu bakar. Selain itu, tauco tidak menggunakan bahan pengawet.
Proses pembuatan tauco di Cianjur menggunakan resep warisan turun-temurun yang tetap dipelihara. Hal itulah yang membuat tauco memiliki karakteristik unik, baik rasa maupun aromanya.
Sejauh ini tidak diketahui dengan pasti, bagaimana asal mula tauco hadir di Kabupaten Cianjur. Yang pasti, pabrik tauco tertua di Cianjur yaitu pabrik Tauco Cap Meong, sudah berdiri sejak 1880. Pada umumnya, produksi tauco di Cianjur dilakukan turun-temurun dan kini sudah memasuki generasi ketiga.
Ny. Wiri Jati Tasma (76), salah seorang pengusaha tauco di Cianjur yang kini masih bertahan, merupakan generasi ketiga dari produsen Tauco Cap Meong. Menurut Wiri Jati, sang kakek Tan Ken Yan merupakan orang yang pertama kali mencetuskan ide untuk membuat tauco. itu terjadi pada tahun 1880.
Tauco Cap Biruang juga sudah dikelola oleh generasi ketiga pendirinya. Cap Biruang pertama kali didirikan oleh H. Moh. Soleh tahun 1960.
Kepala Bidang Industri, Dinas Perindustrian, dan Perdagangan Kab. Cianjur Heri Nugraha mengatakan, perkembangan usaha tauco ini naik turun. Saat ini produsen yang tercatat masih bertahan ada lima perusahaan. "Mereka yang masih bertahan itu di antaranya Tauco Cap Meong, Cap Biruang, dan Cap Badak. Yang tertua memang Tauco Cap Meong. Kapasitas produksi produsen tauco itu pun beragam, mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu botol per tahunnya," ujarnya.
**
Pabrik tauco tertua di Cianjur berada di kawasan pusat kota, tepatnya di Jalan H.O.S. Cokroaminoto, di lingkungan pertokoan. Tempat produksi itu berupa bangunan tua. Di sana tertera papan bertulisan Idjin Bupati Kepala Daerah TK II Tjiandjur No. 128/5/DPDK/52 tanggal 16 - 8 - 1952.
Di halaman bangunan produksi itu terdapat hamparan kedelai yang sedang dijemur serta deretan guci berisi kedelai yang bagian atasnya ditutup seng. Di dalam guci itu, kedelai sedang dalam proses fermentasi.
Tak ada papan nama yang menunjukkan bahwa di sana dijual atau diproduksi tauco. Namun, kebanyakan konsumen yang ingin membeli tauco sudah mengetahui lokasi ini. Jika ada calon pembeli yang bertanya kepada warga Cianjur, warga akan menunjukkan tempat itu.
Generasi ketiga pengelola Tauco Cap Meong, Ny. Wiri Jati Tasma mengatakan, tak mengetahui dengan pasti bagaimana awal usaha yang dirintis leluhurnya itu. Yang ia ketahui, kakeknya yang bernama Tan Keng Yan-lah yang pertama kali meracik resep, membuat tauco, dan menjual sendiri tauco buatannya itu.
Waktu itu, tauco buatan kakeknya dijual dengan menggunakan kemasan terbuat dari daun pisang atau dipincuk (sebutan Sunda-red.). "Harganya juga masih sen-senan sebungkusnya. Bungkusnya juga pakai daun, dipincuk seperti bungkus lotek. Jadi, belum pakai merek segala," kata Ny. Tasma.
Seiring dengan perjalanan waktu, tauco itu akhirnya dikemas dalam botol dan diberi merek. Mulai kapan kemasan itu berganti, ia pun tak tahu persis. Sepengetahuannya, ketika dikelola orang tuanya, tauco itu sudah dikemas dalam botol dan bermerek.
Ketika kakek dan neneknya meninggal, pengelolaan usaha tauco dilanjutkan oleh orang tuanya Tan Bei Nio sebagai generasi kedua, sekitar tahun 30-an. Usaha ini kemudian ia kelola tahun 1985 setelah kedua orang tuanya tiada.
Ny. Wiri Jati Tasma tetap mempertahankan proses pembuatan tauco dari leluhurnya. Bahkan, peralatan yang dipakai pun tak ada yang diganti. Misalnya, guci atau gentong. Banyak guci dan gentong yang usianya lebih tua daripada usia pegawainya.
"Sampai sekarang, gentong yang dipakai di sini mayoritas sudah berumur, paling hanya satu dua yang diganti. Kami selalu wanti-wanti ke pegawai, supaya hati-hati menggunakan gentong. Soalnya kalau ada yang rusak, susah mencari gantinya," ujarnya.
Demikian pula dengan proses memasak, dari dulu hingga sekarang masih mengunakan kayu bakar. Sebelumnya, sempat dicoba menggunakan kompor semawar, tetapi hasilnya tidak bagus. Wangi, dan kekhasan tauconya menjadi tidak keluar.
"Dari dulu hingga sekarang, resep dan proses masak di sini tidak ada yang berubah, masih tetap dipertahankan. Ini sebagai upaya untuk mempertahankan ciri khas tauco yang turun-temurun dan tidak menghilangkan kekhasannya," ujarnya.
Upaya mereka menjaga kekhasan produknya dihadapkan pada berbagai kendala. Mulai dari kesulitan mendapatkan kayu bakar hingga naiknya harga. Demikian pula dengan bahan baku kedelai yang kualitasnya mengalami penurunan sehingga berpengaruh pada hasil produksi.
"Sebelum menggunakan kedelai impor, dulu tauco di sini pakai kedelai lokal dari Garut. Itu merupakan kualitas terbaik tauco sebab waktu itu kualitasnya lebih baik dari impor," ujarnya.
Namun, kini kedelai lokal sudah tidak bisa diandalkan lagi kualitas maupun volumenya. Akibatnya, ketergantungan terhadap kedelai impor pun tidak bisa dihindari. (Yusuf Adji/"PR")***
Sumber :
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=94394
Sebenarnya tauco tidak hanya dihasilkan Cianjur. Riau, Medan, dan Pekalongan juga merupakan daerah penghasil tauco lainnya di Indonesia. Uniknya, setiap daerah bahkan setiap produsen tauco memiliki resep khusus sehingga menghasilkan rasa tauco yang khas. Begitu pula dengan tauco cianjur, memiliki kualitas dan kekhasan tersendiri.
Tauco, umumnya digunakan sebagai bumbu atau penyedap masakan lauk-pauk. Bahan baku utama tauco adalah kedelai yang kemudian diproses melalui beberapa tahapan dan difermentasi.
Pembuatan tauco masih menggunakan peralatan sederhana. Proses dan tahapannya juga masih mempertahankan cara tradisional. Bahan bakarnya pun menggunakan kayu bakar. Selain itu, tauco tidak menggunakan bahan pengawet.
Proses pembuatan tauco di Cianjur menggunakan resep warisan turun-temurun yang tetap dipelihara. Hal itulah yang membuat tauco memiliki karakteristik unik, baik rasa maupun aromanya.
Sejauh ini tidak diketahui dengan pasti, bagaimana asal mula tauco hadir di Kabupaten Cianjur. Yang pasti, pabrik tauco tertua di Cianjur yaitu pabrik Tauco Cap Meong, sudah berdiri sejak 1880. Pada umumnya, produksi tauco di Cianjur dilakukan turun-temurun dan kini sudah memasuki generasi ketiga.
Ny. Wiri Jati Tasma (76), salah seorang pengusaha tauco di Cianjur yang kini masih bertahan, merupakan generasi ketiga dari produsen Tauco Cap Meong. Menurut Wiri Jati, sang kakek Tan Ken Yan merupakan orang yang pertama kali mencetuskan ide untuk membuat tauco. itu terjadi pada tahun 1880.
Tauco Cap Biruang juga sudah dikelola oleh generasi ketiga pendirinya. Cap Biruang pertama kali didirikan oleh H. Moh. Soleh tahun 1960.
Kepala Bidang Industri, Dinas Perindustrian, dan Perdagangan Kab. Cianjur Heri Nugraha mengatakan, perkembangan usaha tauco ini naik turun. Saat ini produsen yang tercatat masih bertahan ada lima perusahaan. "Mereka yang masih bertahan itu di antaranya Tauco Cap Meong, Cap Biruang, dan Cap Badak. Yang tertua memang Tauco Cap Meong. Kapasitas produksi produsen tauco itu pun beragam, mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu botol per tahunnya," ujarnya.
**
Pabrik tauco tertua di Cianjur berada di kawasan pusat kota, tepatnya di Jalan H.O.S. Cokroaminoto, di lingkungan pertokoan. Tempat produksi itu berupa bangunan tua. Di sana tertera papan bertulisan Idjin Bupati Kepala Daerah TK II Tjiandjur No. 128/5/DPDK/52 tanggal 16 - 8 - 1952.
Di halaman bangunan produksi itu terdapat hamparan kedelai yang sedang dijemur serta deretan guci berisi kedelai yang bagian atasnya ditutup seng. Di dalam guci itu, kedelai sedang dalam proses fermentasi.
Tak ada papan nama yang menunjukkan bahwa di sana dijual atau diproduksi tauco. Namun, kebanyakan konsumen yang ingin membeli tauco sudah mengetahui lokasi ini. Jika ada calon pembeli yang bertanya kepada warga Cianjur, warga akan menunjukkan tempat itu.
Generasi ketiga pengelola Tauco Cap Meong, Ny. Wiri Jati Tasma mengatakan, tak mengetahui dengan pasti bagaimana awal usaha yang dirintis leluhurnya itu. Yang ia ketahui, kakeknya yang bernama Tan Keng Yan-lah yang pertama kali meracik resep, membuat tauco, dan menjual sendiri tauco buatannya itu.
Waktu itu, tauco buatan kakeknya dijual dengan menggunakan kemasan terbuat dari daun pisang atau dipincuk (sebutan Sunda-red.). "Harganya juga masih sen-senan sebungkusnya. Bungkusnya juga pakai daun, dipincuk seperti bungkus lotek. Jadi, belum pakai merek segala," kata Ny. Tasma.
Seiring dengan perjalanan waktu, tauco itu akhirnya dikemas dalam botol dan diberi merek. Mulai kapan kemasan itu berganti, ia pun tak tahu persis. Sepengetahuannya, ketika dikelola orang tuanya, tauco itu sudah dikemas dalam botol dan bermerek.
Ketika kakek dan neneknya meninggal, pengelolaan usaha tauco dilanjutkan oleh orang tuanya Tan Bei Nio sebagai generasi kedua, sekitar tahun 30-an. Usaha ini kemudian ia kelola tahun 1985 setelah kedua orang tuanya tiada.
Ny. Wiri Jati Tasma tetap mempertahankan proses pembuatan tauco dari leluhurnya. Bahkan, peralatan yang dipakai pun tak ada yang diganti. Misalnya, guci atau gentong. Banyak guci dan gentong yang usianya lebih tua daripada usia pegawainya.
"Sampai sekarang, gentong yang dipakai di sini mayoritas sudah berumur, paling hanya satu dua yang diganti. Kami selalu wanti-wanti ke pegawai, supaya hati-hati menggunakan gentong. Soalnya kalau ada yang rusak, susah mencari gantinya," ujarnya.
Demikian pula dengan proses memasak, dari dulu hingga sekarang masih mengunakan kayu bakar. Sebelumnya, sempat dicoba menggunakan kompor semawar, tetapi hasilnya tidak bagus. Wangi, dan kekhasan tauconya menjadi tidak keluar.
"Dari dulu hingga sekarang, resep dan proses masak di sini tidak ada yang berubah, masih tetap dipertahankan. Ini sebagai upaya untuk mempertahankan ciri khas tauco yang turun-temurun dan tidak menghilangkan kekhasannya," ujarnya.
Upaya mereka menjaga kekhasan produknya dihadapkan pada berbagai kendala. Mulai dari kesulitan mendapatkan kayu bakar hingga naiknya harga. Demikian pula dengan bahan baku kedelai yang kualitasnya mengalami penurunan sehingga berpengaruh pada hasil produksi.
"Sebelum menggunakan kedelai impor, dulu tauco di sini pakai kedelai lokal dari Garut. Itu merupakan kualitas terbaik tauco sebab waktu itu kualitasnya lebih baik dari impor," ujarnya.
Namun, kini kedelai lokal sudah tidak bisa diandalkan lagi kualitas maupun volumenya. Akibatnya, ketergantungan terhadap kedelai impor pun tidak bisa dihindari. (Yusuf Adji/"PR")***
Sumber :
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=94394
Bupati/Dalem Cianjur Dari Masa Ke Masa
1. R.A. Wira Tanu I (1677-1691)
2. R.A. Wira Tanu II (1691-1707)
3. R.A. Wira Tanu III (1707-1727)
4. R.A. Wira Tanu Datar IV (1927-1761)
5. R.A. Wira Tanu Datar V (1761-1776)
6. R.A. Wira Tanu Datar VI (1776-1813)
7. R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833)
8. R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834)
9. R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862)
10.R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910)
11.R. Demang Nata Kusumah (1910-1912)
12.R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920)
13.R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932)
14.R. Sunarya (1932-1934)
15.R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943)
16.R. Adiwikarta (1943-1945)
17.R. Yasin Partadiredja (1945-1945)
18.R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946)
19.R. Abas Wilagasomantri (1946-1948)
20.R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950)
21.R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952)
22.R. Akhyad Penna (1952-1956)
23.R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957)
24.R. Muryani Nataatmadja (1957-1959)
25.R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966)
26.Letkol R. Rakhmat (1966-1966)
27.Letkol Sarmada (1966-1969)
28.R. Gadjali Gandawidura (1969-1970)
29.Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978)
30.Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983)
31.Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988)
32.Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1996)
33.Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001)
34.Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006)
35.Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur
2. R.A. Wira Tanu II (1691-1707)
3. R.A. Wira Tanu III (1707-1727)
4. R.A. Wira Tanu Datar IV (1927-1761)
5. R.A. Wira Tanu Datar V (1761-1776)
6. R.A. Wira Tanu Datar VI (1776-1813)
7. R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833)
8. R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834)
9. R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862)
10.R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910)
11.R. Demang Nata Kusumah (1910-1912)
12.R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920)
13.R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932)
14.R. Sunarya (1932-1934)
15.R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943)
16.R. Adiwikarta (1943-1945)
17.R. Yasin Partadiredja (1945-1945)
18.R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946)
19.R. Abas Wilagasomantri (1946-1948)
20.R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950)
21.R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952)
22.R. Akhyad Penna (1952-1956)
23.R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957)
24.R. Muryani Nataatmadja (1957-1959)
25.R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966)
26.Letkol R. Rakhmat (1966-1966)
27.Letkol Sarmada (1966-1969)
28.R. Gadjali Gandawidura (1969-1970)
29.Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978)
30.Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983)
31.Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988)
32.Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1996)
33.Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001)
34.Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006)
35.Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur
Cianjur Akan Dimekarkan
DPRD Kabupaten Cianjur, Rabu (5/3), mulai membahas usulan pemekaran Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menjadi tiga wilayah. Yakni, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cianjur Selatan, dan Kota Cipanas.
"Ya karena begitu kuatnya desakan dan keinginan masyarakat terhadap dibentuknya Kota Cipanas dan kabupaten Cianjur Selatan untuk memisahkan diri dari Kabupaten Cianjur," kata Khumaedi Dimyati, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cianjur, Rabu (5/3).
Karena itu, DPRD Kabupaten Cianjur tealah membentuk Panitia Musyawarah (Panmus). Panmus akan mengkaji lebih dalam tentang aspirasi yang disampaikan masyarakat terkait pemekaran wilayah selama ini.
Pernyataan senada dikemukakan Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cianjur, Rudy Syachdiar Hidayath. Menurutnya, aspirasi warga masyarakat terkait pemekaran wilayah Kabupaten Cianjur patut mendapat respons DPRD.
" Soalnya bila dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi DPRD di mata masyarakat, " kata Rudy kepada wartawan.
Hasil pembicaraan Panmus, menurut Rudy, akan diserahkan kepada kepala daerah untuk direkomendasikan kepada Mendagri Mardiyanto di Jakarta.
"Nanti tergantung kepada bupati, mau atau tidak, merekomendasikannya ke Mendagri, " tegasnya.
Menurut Rudy, DPRD pun akan selalu mendorong dan proaktif mengenai desakan keinginan masyarakat untuk pamekaran Kabupaten Cianjur dengan dibentuknya Kota Cipanas. Setelah hasil Panmus diserahkan kepada kepala daerah, DPRD bisa membuat perda (peraturan daerah) tentang pemekaran Kabupaten Cianjur.
"Nantinya kepala daerah harus juga mendorong membantu pengadaan fasilitas perkantoran dan anggaran. Jangan sampai seperti Kabupaten Bandung Barat, harus menyewa kantor. Jadi Cianjur harus siap, dan kami pun di DPRD akan membahas anggaran yang dibutuhkan untuk pemerintahan hasil pemekaran," jelasnya.
Selain pembentukan Kota Cipanas, menurut Rudy, jauh sebelumnya sudah ada keinginan, bahkan sudah direkomendasikan kepada Mendagri mengenai pembentukan Kabupaten Sukangara, Cianjur Selatan.
"Setelah dikaji dibandingkan dengan Kabupaten Sukangara, lebih memungkinkan pemekaran Kabupaten Cianjur dengan pembentukan Kota Cipanas. Terutama menyangkut beberapa persyaratan yang telah dimiliki oleh Cipanas, " ungkap Rudy.
Dicontohkan beberapa persyaratan yang telah dimiliki oleh Cipanas. Selain jumlah penduduk dari lima wilayah kecamatan, seperti Kecamatan Cipanas, Pacet, Cugenang, Sukaresmi dan Cikalongkulon, juga telah memiliki rumah sakit tetap, pasar tetap.
Di samping pamekaran kabupaten, beberapa kecamatan di Kabupaten Cianjur yang dilihat dari segi jumlah penduduk banyak yang harus segera dimekarkan. Di antaranya, Kecamatan Karangtengah dan Kecamatan Cibeber. Sementara yang dimekarkan tahun ini adalah Kecamatan Bojongpicung dan Kecamatan Ciranjang.
"Pemekaran kabupaten dan pemekaran kecamatan itu harus dilihat sebagai upaya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat proses pembangunan dalam berbagai sektor Sehingga nantinya dapat terwujudnya cita-cita pembangunan untuk kesejahteraan rakyat," katanya. [*/R2]
Sumber :
http://www.inilah.com/berita_print.php?id=15657
5 Maret 2008
"Ya karena begitu kuatnya desakan dan keinginan masyarakat terhadap dibentuknya Kota Cipanas dan kabupaten Cianjur Selatan untuk memisahkan diri dari Kabupaten Cianjur," kata Khumaedi Dimyati, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cianjur, Rabu (5/3).
Karena itu, DPRD Kabupaten Cianjur tealah membentuk Panitia Musyawarah (Panmus). Panmus akan mengkaji lebih dalam tentang aspirasi yang disampaikan masyarakat terkait pemekaran wilayah selama ini.
Pernyataan senada dikemukakan Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cianjur, Rudy Syachdiar Hidayath. Menurutnya, aspirasi warga masyarakat terkait pemekaran wilayah Kabupaten Cianjur patut mendapat respons DPRD.
" Soalnya bila dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi DPRD di mata masyarakat, " kata Rudy kepada wartawan.
Hasil pembicaraan Panmus, menurut Rudy, akan diserahkan kepada kepala daerah untuk direkomendasikan kepada Mendagri Mardiyanto di Jakarta.
"Nanti tergantung kepada bupati, mau atau tidak, merekomendasikannya ke Mendagri, " tegasnya.
Menurut Rudy, DPRD pun akan selalu mendorong dan proaktif mengenai desakan keinginan masyarakat untuk pamekaran Kabupaten Cianjur dengan dibentuknya Kota Cipanas. Setelah hasil Panmus diserahkan kepada kepala daerah, DPRD bisa membuat perda (peraturan daerah) tentang pemekaran Kabupaten Cianjur.
"Nantinya kepala daerah harus juga mendorong membantu pengadaan fasilitas perkantoran dan anggaran. Jangan sampai seperti Kabupaten Bandung Barat, harus menyewa kantor. Jadi Cianjur harus siap, dan kami pun di DPRD akan membahas anggaran yang dibutuhkan untuk pemerintahan hasil pemekaran," jelasnya.
Selain pembentukan Kota Cipanas, menurut Rudy, jauh sebelumnya sudah ada keinginan, bahkan sudah direkomendasikan kepada Mendagri mengenai pembentukan Kabupaten Sukangara, Cianjur Selatan.
"Setelah dikaji dibandingkan dengan Kabupaten Sukangara, lebih memungkinkan pemekaran Kabupaten Cianjur dengan pembentukan Kota Cipanas. Terutama menyangkut beberapa persyaratan yang telah dimiliki oleh Cipanas, " ungkap Rudy.
Dicontohkan beberapa persyaratan yang telah dimiliki oleh Cipanas. Selain jumlah penduduk dari lima wilayah kecamatan, seperti Kecamatan Cipanas, Pacet, Cugenang, Sukaresmi dan Cikalongkulon, juga telah memiliki rumah sakit tetap, pasar tetap.
Di samping pamekaran kabupaten, beberapa kecamatan di Kabupaten Cianjur yang dilihat dari segi jumlah penduduk banyak yang harus segera dimekarkan. Di antaranya, Kecamatan Karangtengah dan Kecamatan Cibeber. Sementara yang dimekarkan tahun ini adalah Kecamatan Bojongpicung dan Kecamatan Ciranjang.
"Pemekaran kabupaten dan pemekaran kecamatan itu harus dilihat sebagai upaya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat proses pembangunan dalam berbagai sektor Sehingga nantinya dapat terwujudnya cita-cita pembangunan untuk kesejahteraan rakyat," katanya. [*/R2]
Sumber :
http://www.inilah.com/berita_print.php?id=15657
5 Maret 2008
Filosofi Cianjur
Cianjur memiliki filosofi yang sangat bagus, yakni ngaos, mamaos dan maenpo yang mengingatkan pada kita semua tentang 3 (tiga) aspek keparipurnaan hidup.
Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. Citra sebagai daerah agamis ini konon sudah terintis sejak Cianjur lahir sekitar tahun 1677 dimana wilayah Cianjur ini dibangun oleh para ulama dan santri tempo dulu yang gencar mengembangkan syiar Islam. Itulah sebabnya Cianjur juga sempat mendapat julukan gudang santri dan kyai. Bila di tengok sekilas sejarah perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak pula di pondok-pondok pesantren. Banyak pejuang-pejuang yang meminta restu para kyai sebelum berangkat ke medan perang. Mereka baru merasakan lengkap dan percaya diri berangkat ke medan juang setelah mendapat restu para kyai.
Mamaos adalah seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Ia menjadi pupuhu (pemimpin) tatar Cianjur sekitar tahun 1834-1862. Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (Kecapi besar dan Kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru. Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya.
Sedangkan Maen Po adalah seni bela diri pencak silat yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan. Pencipta dan penyebar maen po ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim, aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan. Dalam maenpo dikenal ilmu Liliwatan (penghindaran) dan Peupeuhan (pukulan).
Apabila filosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan symbol rasa keber-agama-an, kebudayaan dan kerja keras. Dengan keber-agama-an sasaran yang ingin dicapai adalah terciptanya keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat cianjur ingin mempertahankan keberadaannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tatakrama dan sopan santun dalam tata pergaulan hidup. Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maenpo, masyarakat Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam meningkatkan mutu kehidupan. Liliwatan, tidak semata-mata permainan beladiri dalam pencak silat, tetapi juga ditafsirkan sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang maksiat. Sedangkan peupeuhan atau pukulan ditafsirkan sebagai kekuatan didalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur
Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. Citra sebagai daerah agamis ini konon sudah terintis sejak Cianjur lahir sekitar tahun 1677 dimana wilayah Cianjur ini dibangun oleh para ulama dan santri tempo dulu yang gencar mengembangkan syiar Islam. Itulah sebabnya Cianjur juga sempat mendapat julukan gudang santri dan kyai. Bila di tengok sekilas sejarah perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak pula di pondok-pondok pesantren. Banyak pejuang-pejuang yang meminta restu para kyai sebelum berangkat ke medan perang. Mereka baru merasakan lengkap dan percaya diri berangkat ke medan juang setelah mendapat restu para kyai.
Mamaos adalah seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Ia menjadi pupuhu (pemimpin) tatar Cianjur sekitar tahun 1834-1862. Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (Kecapi besar dan Kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru. Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya.
Sedangkan Maen Po adalah seni bela diri pencak silat yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan. Pencipta dan penyebar maen po ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim, aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan. Dalam maenpo dikenal ilmu Liliwatan (penghindaran) dan Peupeuhan (pukulan).
Apabila filosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan symbol rasa keber-agama-an, kebudayaan dan kerja keras. Dengan keber-agama-an sasaran yang ingin dicapai adalah terciptanya keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat cianjur ingin mempertahankan keberadaannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tatakrama dan sopan santun dalam tata pergaulan hidup. Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maenpo, masyarakat Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam meningkatkan mutu kehidupan. Liliwatan, tidak semata-mata permainan beladiri dalam pencak silat, tetapi juga ditafsirkan sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang maksiat. Sedangkan peupeuhan atau pukulan ditafsirkan sebagai kekuatan didalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur
Asal Mula Cianjur
Tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber - sumber tertulis , sejak tahun 1614 daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram. Tersebutlah sekitar tanggal 12 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kekuasaan di tanah nusantara. Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda / VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.
Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 12 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru ke pinggiran sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk Hindu.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur
Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 12 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru ke pinggiran sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk Hindu.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur
Langganan:
Postingan (Atom)